Seperti penjelasan sebelumnya, sebelum tahun 1973 masih belum jelas agama yang dianut masyarakat Tengger, kecuali mereka secara patuh melaksanakan berbagai upacara adat, antara lain: “Upacara Kasada, Karo, Entas-entas, Unan-unan, dan beberapa upacara lainnya yang bersifat tradisional. Mereka masih belum melaksanakan ibadah agama sebagaimana ditentukan oleh agama-agama besar. Sejak tahun 1973 pembinaan agama mulai dilaksanakan.
Menurut kepercayaan dari Parisada Jawa Timur, masyarakat Tengger digolongkan pemeluk agama Budha Mahayana dengan surat keputusan No. 00/PHB Jatim/Kept/III/73, tanggal 6 Maret 1973. Namun demikian, ditilik dari cara ibadah dan upacara keagamaannya, agama tersebut kurang menunjukkan tanda sifat ke-Budha-annya, kecuali pada setiap mantra yang dimulai dengan kata Hong, yang biasanya dipakai oleh masyarakat Tengger sebagai berikut:
“Abdi dalem sangep sumpah pandamelan ingkang kapasrahaken, lan andadosaken apisir, nindakaken penimbangan ingkang kalayan leres, pendamelan-pendamelan ingkang katekakaken miturut dateng agami BUDA sarana lisan, inggih punika damel jawab ingkang leres, tampia bra utami boten, kenging dhateng sepinten kemawon”.
Upacara adat yang dilaksanakan menunjukkan adanya salah satu upacara agama Hindu, yaitu Galungan. Di samping itu sejumlah mantra yang biasa diucapkan pada setiap upacara adat banyak mengandung ajaran agama Hindu. Akhirnya, oleh pembina keagamaan, ditetapkan bahwa masyarakat Tengger beragama Hindu.
Adat kepercayaan masyarakat Tengger tercermin pada cerita rakyat di kalangan masyarakat itu, berupa legenda yang berkaitan dengan Gunung Bromo dan Semeru. Kedua tempat mi dianggap sebagai tempat suci dalam melaksanakan upacara keagamaan. Tempat suci yang utama adalah pada Segara Wedhi (lautan pasir). Di samping itu, ada beberapa tempat di bawah pohon-pohon besar yang biasa untuk tempat sesajen. Segara Wedhi digunakan untuk upacara besar Kasada tiap tahun sekali.
Daerah Tengger dianggap sebagai tempat suci. Hal ini dikuatkan dengan ditemukannya prasasti Tengger dari awal abad ke-10. Prasasti itu terbuat dari batu dan bertahun Saka 851 (tahun 929 Masehi), serta menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandit, terletak di pegunungan Tengger, adalah tempat suci karena dihuni oleh hulun hyang atau abdi dewa-dewi agama Hindu (Nancy).
Tempat ibadah yang utama ialah di sanggar pamujan, atau di rumah mereka sendiri. Baru setelah ada pembinaan, tuntunan oleh Parisada, maka didirikan pura tempat pemujaan, seperti halnya di Bali. Pura itu sampai sekarang masih dalam pengembangan, dan masih memerlukan waktu lama untuk menyempurnakannya (di Wonokitri 1991).
Agama masyarakat Tengger sebenarnya dianggap cenderung kepada agama Budha Mahayana, meskipun bila ditinjau dari cara beribadah dan kepercayaannya lebih merupakan perpaduan antara agama Hindu, Budha dan kepercayaan tradisional. Untuk tetap mempersatukan masyarakat Tengger, pada tahun 1973 oleh para sesepuhnya diadakan musyawarah di balai desa Ngadisari (Probolinggo). Pada kesempatan itu mereka menetapkan diri memeluk agama Hindu dan secara khusus melestarikan ucapan Hong, seperti terdapat pada setiap permulaan mantra tradisionalnya, sebagai permulaan salam. Salam khusus yang disetujui berbunyi Hong ulun basuki langgeng yang berarti: “Semoga Tuhan tetap memberikan keselamatan atau kemakmuran yang kekal abadi kepada kita”.
Pada dasarnya mereka menyembah pada Tuhan Yang Maha Esa yang diberi nama Sang Hyang Widhi Wasa. Sebelum diadakan pembinaan agama, masyarakat Tengger menamakan Tuhan dengan sebutan Gusti, atau Gusti Ingkang Maha Agung.
Secara resmi sejak tahun 1973 masuklah agama Hindu Dharma di wilayah Tengger, dan salam agama Hindu Om swasti astu. Dewasa ini telah diajarkan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seperti tersebut berikut ini, yaitu : Panca Sradha.
- Percaya kepada Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan pencipta alam.
- Percaya adanya Atma (n) yaitu roh leluhur atau rohnya sendiri.
- Percaya adanya karmapala, yaitu hukum sebab-akibat. Kepercayaan pada karma pala ini merupakan inti ajaran agama Hindu maupun agama Budha, bahwa semua perbuatan manusia itu pasti terikat pada hukum sebab-akibat. Setiap perbuatan pasti ada akibatnya, yang akan dialami oleh manusia baik sekarang maupun pada hidup yang akan datang.
- Percaya pada punarbawa (reinkarnasi). Kepercayaan ini adalah dan agama Hindu dan Budha, bahwa manusia itu terikat pada hukum hidup berkali-kali sesuai dengandharma hidup sebelumnya.
- Percaya pada moksa (sirna), yaitu bahwa apabila manusia telah mencapai moksa tidak akan terikat kembali pada punarbawa. Mereka akan berada pada tempat kedamaian abadi.
Peranan Dukun
Dukun merupakan pimpinan masyarakat yang berperan memimpin upacara keagamaan. Kedudukan dukun lebih tinggi daripada modin dalam agama Islam, namun lebih rendah dari pedanda dalam masyarakat Bali. Di Tengger dahulu ada 36 orang dukun. Satu di antaranya menjadi kepala dukun pandita yang memberi arahan serta petunjuk atau nasihat bagi para dukun lainnya.
Dukun dipilih melalui musyawarah desa, diseleksi melalui ujian, serta diangkat oleh pemerintah. Dukun berfungsi memimpin upacara keagamaan dan dibantu oleh legen. Pada waktu memimpin upacara keagamaan, dukun mengenakan baju antrakusuma atau rasukan dukun dengan ikat kepala dan selempang, serta dilengkapi dengan alat-alat upacara seperti : prasen, genta, dan talam.
Syarat menjadi dukun antara lain adalah : (1) berkemampuan, tekun, mampu menggali legenda, memiliki kedalaman ilmu, dan bertempat tinggal dekat dengan lokasi; (2) disetujui oleh masyarakat melalui musyawarah; dan (3) diangkat oleh pemerintah.
Untuk memperkuat karisma dan wibawa, seorang dukun diwajibkan menjalankan laku tertentu. Pada setiap bulan ketujuh dukun diharuskan melakukan mutih, yaitu selama satu bulan tidak makan garam, gula, dan tidak kumpul dengan istri. Kerja sehari-hari tetap dilaksanakan, hanya dibatasi waktunya supaya tidak terlalu lelah. Laku mutih ini diibaratkan sebagai pengasah kemampuan batiniah yang bersifat spiritual. Diibaratkan seperti pisau, untuk menjadi tajam harus diasah. Laku mutih ini bukan untuk setiap orang, dalam arti bahwa orang-orang yang bukan dukun tidak harus melakukannya.
Untuk dapat menjadi dukun diharuskan menguasai adat dan mantra-mantra yang dibaca atau diucapkan pada berbagai upacara adat. Pada umumnya dipandang bahwa seseorang bisa menjadi dukun setelah mencapai umur 40 tahun dan menguasai adat serta berbagai mantranya. Mantra-mantra tersebut dulu diwariskan secara lisan, akan tetapi sekarang di samping lisan diusahakan melalui tulisan.