Showing posts with label Kerajaan Aceh. Show all posts
Showing posts with label Kerajaan Aceh. Show all posts

Sunday, November 10, 2013

Cap Sikeureung Sultan Aceh yang terakhir.

Setiap Sultan atau Sultanah (Ratu) yang memerintah di Aceh selalu menggunakan sebuah Cap resmi kesultanannya, yang didalam bahasa Aceh disebut Cab Sikureung (Cap Sembilan). Pemberian nama ini didasarkan kepada bentuk stempel itu sendiri yang mencantumkan nama sembilan orang Sultan dan nama Sultan yang sedang memerintah itu sendiri terdapat di tengah-tengah.



Cap Sikureung (Kulit luar) bermakna 9 Sultan :

1. Paling Atas
Sultan Ahmad Syah, yakni Raja pertama Dinasti Aceh-Bugis yang terakhir, 1723-1735, adalah Sultan yang ke-XX, sebelum tahun 1723 disebut  dengan gelar Maharadja Lela (Melayu)
2. Kanan Atas
Sultan Djauhan Syah, yakni Putera Raja sebelumnya, 1735-1760, adalah Sultan ke-XXI, bergelar Raja Muda
3. Paling Kanan
Sultan Mahmud Syah, yakni Muhammad atau Mahmoud Syah I, Cucu Sultan Ahmad Syah, 1760-1763, adalah Sultan ke-XXII
4. Kanan Bawah
Sultan Djauhar 'Alam, yakni Cicit laki-laki Sultan Ahmad Syah, 1795-1824, adalah Sultan ke-XXVII
5. Paling Bawah
Sultan Manshur Syah, yakni Putera Djauhar Alam, sekitar 1857-1870, adalah Sultan ke-XXVIII
6. Kiri Bawah
Sultan Said-al-Mukamal, yakni Alauddin al-Qahhar, 1530-1557, adalah Sultan Aceh ke-III
7. Paling Kiri
Sultan Meukuta Alam, yakni Sultan Iskandar Muda, 1607-1636, adalah Sultan Aceh ke-XI
8. Kiri Atas
Sultan Tadjul 'Alam, yakni Ratu Safiatuddin, Sultan wanita pertama Aceh, 1641-1675, adalah Sultan ke-XIII (Puteri Iskandar Muda)
9. Tengah
Waffaa-Allah Paduka Seri Sultan Alauddin muhammad Daud Syah Djohan Berdaulat zil-Allah fil'Alam, yakni adalah Sultan Muhammad Daud Syah, 1879-1903, Sultan Aceh yang terakhir.

Pada Segel-segel Sultan Aceh, tiga tempat diperuntukkan kepada raja-raja yang memerintah dari dinasti sebelumnya. Lima tempat diperuntukkan pada Raja-raja keluarga sendiri, dan yang satu dari yang 5 adalah raja pendiri dan dinastinya. Dan yang terletak di tengah-tengah yaitu Sultan atau Sultanah (Ratu) yang sedang memerintah. (Penjelasan Cap Sikureung ini berdasarkan stempel terakhir milik Kerajaan Aceh).

Sumber : DPR Aceh

Saturday, November 9, 2013

Puteri Lindung Bulan Dari Kerajaan Benua Tamiang

Puteri Lindung Bulan yang juga disebut Puteri Sri Kandee Negeri adalah puteri Raja Muda Sedia yang memerintah Negeri Benua Tamieng(negara bagian dari Kerajaan Islam Perlak) dalam tahun 735 - 800 H (1353 - 1398 M). Sekalipun tidak memegang salah satu jabatan dalam pemerintahan, namun di belakang layar, Puteri Lindung Bulan telah membantu ayahnya dalam berbagai urusan kerajaan, yang pada hakekatnya adalah sebagai Perdana Menteri dalam pekerjaannya. Ketika angkatan perang Majapahit di bawah pimpinan Patih Nala telah menduduki Pulau Kampey pada tahun 779 H (1377 M), lalu mengirim utusan kepada Raja Muda Sedia di kota Masmani untuk meminta agar Negeri Benua Tamieng tunduk kepada Kerajaan Majapahit dan Puteri Lindung Bulan diserahkan kepada Raja Hayam Wuruk sebagai persembahan.

Sebagai seorang muslim Raja Muda Sedia menolak permintaan itu, dan sebagai seorang muslimat sudah tentu Puteri Lindung Bulan tidak mau diserahkan kepada Raja Majapahit yang "bukan Islam". Akibatnya Patih Nala menyerang Negeri Benua Tamieng dimana terjadi pertempuran yang hebat di kota Masmani yang dipertahankan oleh tentara Benua di bawah pimpinan Lakseumana Kantom Mano.

Kota Masmani direbut, Raja Muda Sedia dan permaisurinya melarikan diri ke kota Peunaron, namun Puteri Lindung Bulan membiarkan diri ditawan oleh Patih Nala dengan tujuan hanya sebagai suatu siasat. Dengan suatu tipu daya dari Puteri Lindung Bulan, maka beberapa waktu kemudian angkatan perang Negeri Benua dapat merebut kembali kota Masmani yang telah hancur, dan Puteri Lindung Bulan dibebaskan, setelah serangan tiba-tiba tengah malam yang dilakukan oleh Lakseumana Kantom Mano. Karena kecewa tidak dapat menaklukkan Negeri Benua dan menyerahkan Puteri Lindung Bulan sebagai persembahan kepada Prabu Hayam Wuruk, maka Patih Nala melanjutkan perang perluasan kerajan Majapahit ke wilayah kerajaan Islam Perlak dan Samudera Pasai. Namun sementara itu terdengar berita bahwa Prabu Hayam Wuruk meninggal dunia, semangat perang Patih Nala menjadi patah, dan dengan tergesa-gesa ia menarik angkatan perangnya dari Perlak dan Pasai untuk kembali ke Majapahit.

Sumber : Meukeutop - Aceh on history and culture