Showing posts with label Artikel. Show all posts
Showing posts with label Artikel. Show all posts

Saturday, December 14, 2013

Perbedaan Puisi Dan Prosa

perbedaan puisi dan prosa
Perbedaan Puisi Dan Prosa - Sebelumnya kita sudah mencoba untuk memahami pengertian puisi. Selanjutnya,kita akan belajar membedakan antara puisi dan prosa. Dibawah ini merupakan uraian yang membedakan antara puisi dan prosa.

HB. Jassin (1953:54) mengatakan bahwa untuk mendefinisikan puisi, puisi itu harus dikaitkan dengan definisi prosa. Prosa merupakan pengucapan dengan pikiran, sedangkan puisi merupakan pengucapan dengan perasaan.

Rahmanto dan Dick Hartoko (1986) mengatakan bahwa puisi merupakan lawan terhadap prosa. Ungkapan bahasa yang terikat (puisi), lawan ungkapan bahasa yang tidak terikat (prosa). Keterikatan oleh paralelisme, metrum, rima, pola bunyi, dsb. Pada sastra modern perbedaan puisi dan prosa sangat kabur.

Luxemburg (1992) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teks puisi adalah teks-teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur. Selain itu teks puisi bercirikan penyajian tipografik tertentu. Tipografik ini merupakan ciri yang paling menonjol dalam puisi. Apabila kita melihat teks yang barisnya tidak selesai secara otomatis kita menganggap bahwa teks tersebut merupakan teks puisi.

Rachmad Djoko Pradopo (1987) mengatakan bahwa dewasa ini orang mengalami kesulitan dalam membedakan puisi dan prosa hanya dari bentuk visualnya sebagai sebuah karya tertulis. Sampai-sampai sekarang ini dikatakan bahwa niat pembacalah yang menjadi ciri sastra utama.

Alterbern (dalam Pradopo, 1987) mengatakan bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama. Ada tiga unsur pokok dalam puisi yaitu pemikiran/ide/emosi, bentuk, dan kesan. Jadi puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan bahasa yang berirama.

Slametmulyana (1956:112) mengatakan bahwa ada perbedaan pokok antara prosa dan puisi. Pertama, kesatuan prosa yang pokok adalah kesatuan sintaksis, sedangkan kesatuan puisi adalah kesatuan akustis. Kedua puisi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang disebut baris sajak, sedangkan dalam prosa kesatuannya disebut paragraf. Ketiga di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir.

Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan prosa dan puisi bukan pada bahannya, melainkan pada perbedaan aktivitas kejiwaan. Puisi merupakan hasil aktivitas pemadatan, yaitu proses penciptaan dengan cara menangkap kesan-kesan lalu memadatkannya (kondensasi). Prosa merupakan aktivitas konstruktif, yaitu proses penciptaan dengan cara menyebarkan kesan-kesan dari ingatan (Djoko Pradopo, 1987).

Perbedaan lain terdapat pada sifat. Puisi merupakan aktivitas yang bersifat pencurahan jiwa yang padat, bersifat sugestif dan asosiatif. Sedangkan prosa merupakan aktivitas yang bersifat naratif, menguraikan, dan informatif (Pradopo, 1987)

Perbedaan lain yaitu puisi menyatakan sesuatu secara tidak langsung, sedangkan prosa menyatakan sesuatu secara langsung.

Wednesday, December 4, 2013

Apa Pengertian Puisi?

Apa Pengertian/Definisi Puisi? - Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Sitomorang, 1980:10).

Menurut Vicil C. Coulter, kata poet berasal dari kata bahasa Gerik yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Gerik, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa-dewa atau orang yang amat suka pada dewa-dewa. Dia adalah orang yang mempunyai penglihatan yang tajam, orang suci, yang sekaligus seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi (Situmorang, 1980:10).

Ada beberapa pengertian lain dari puisi. 

  • Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. 
  • Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif. 
  • Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
  • William Wordsworth (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
  • Percy Byssche Shelly (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling senang dari pikiran-pikiran yang paling senang.
  • Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
  • Lescelles Abercrombie (Sitomurang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat. 
Demikian beberapa pengertian dari puisi yang dapat anda gunakan sebagai sebuah bahan rujukan. Semoga bermanfaat. Baca juga Sejarah sastra Indonesia dari masa ke masa.

Tuesday, December 3, 2013

Naskah Pidato Bung Karno Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945

Naskah Pidato Pancasila 1 Juni 1945 Bung Karno - Kita tahu Bung Karno merupakan bapak pancasila. Beliau memperkenalkan konsep pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 melalui pidatonya. Berikut ini adalah pidato Bung Karno tentang Pancasila.

Paduka Tuan Ketua yang Mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menepati permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia? Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.

Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: Philosofische grondslag daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka Tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”. Merdeka buat saya ialah: “political independence”, politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

Tuan-tuan sekalian! Dengan terus terang saya katakana: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini – zwaarwichtig akan perkara yang kecil-kecil. “Zwaarwichtig” sampai kata orang Jawa – “njlimet”. Jika sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai “njlimet”, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.

Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.

Alangkah berbedanya isi itu! Jika kita berkata: Sebelum negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai itu selesai, itu selesai, sampai njlimet, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekelian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.

Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka. Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok mereka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!

Bacalah buku Armstrong yang menceritakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi Arabia merdeka!

Lihatlah pula – jika tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat – Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan negara Soviet, adakah rakyat Soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh miliun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih daripada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoy dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!

Maaf Paduka Tau Zimukyokutyoo. Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca Tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njlimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, samapai njlimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka – sampai di lubang kubur!

(Tepuk tangan riuh)

Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ’33 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka“. Maka dalam risalah tahun ’33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.

Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, – in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riyadh dengan enam orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan oleh Ibn Saud, maka di seberang jembatan, artinya kemudian daripada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca, diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandang sebagai nomade, yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok tanam. Nomade diubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani,- semuanya di seberang jembatan.

Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet Rusia Merdeka, telah mempunyai Jnepprporstoff, dan yang mahabesar di Sungai Jneppr? Apa ia telah mempunyai radio station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio station, baru mengadakan sekolah, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Jnepprporstoff! Oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan njlimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya tuan-tuan punya semangat,-jika tuan-tuan demikian-, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang dua miliun banyaknya. Dua miliun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, dua miliun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!

(Tepuk tangan riuh)

Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “Indonesia Merdeka Sekarang”, bahkan tiga kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!

(Tepuk tangan riuh)

Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka,-kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jika umpamanya kita pada saat sekarang ini diberi kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid,-in one night, di dalam satu malam!

Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang dua miliun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang! Jika umpamanya bala tentara Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka! 

(Seruan: Tidak! Tidak!)

Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini bala tentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang merdeka!

(Tepuk tangan menggemparkan)

Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan anatara Soviet Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika, dan lain-lain tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap sedia, masak untuk merdeka.

(Tepuk tangan riuh)

Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji f 500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinderuitzet, barulah saya berani kawin.

Ada orang lain yang berkata: Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu “meja makan“, lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur.

Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubuk saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubuk: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: kawin.

Sang nDara yang mempunyai rumah gedung, electrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang nDara dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar satu periuk, saudara-saudara!

(Tepuk tangan, dan tertawa)

Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati sang nDara yang baru berani kawin kalau sudah punya gerozilvel satu kaset plus kinderuitzet,-buat tiga tahun lamanya!

(Tertawa)

Saudara-saudara, soalnya adalah demikian:-kita ini berani merdeka atau tidak? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka Tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasar satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang yang tujuh puluh miliun ini lebih dahulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka!

(Tepuk tangan riuh)

Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hati bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu per satu. Di dalam Soviet Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Soviet Rusia satu per satu.
Saudara-saudara! Sebagai salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakit hongerodeem, banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka.”

Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, dua puluh tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.

Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang mahapenting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan, oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationaalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidaklah diadakan syarat yang neka-neka, yang menjlimet, tidak! Syaratnya sekadar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationaalrecht. Cukup saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyatnya dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya, dan ada pemerintahannya,—sudahlah ia merdeka.

Janganlah kita gentar, zwaarwightig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka atau tidak? Mau merdeka atau tidak?

(Jawab hadirin: Mau!)

Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang dasar.

Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosophische grondslag, atau, jika kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung“, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.

Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu “Weltanschauung“. Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanschauung“,–filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet di atas suatu “Weltanschauung“, yaitu “Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung“, yang dinamakan “Tenno Koodoo Seishin“. Di atas Tenno Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn saud, mendirikan negara Arabia di atas suatu “Weltanschauung“, bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia: Apakah “Weltanschauung“ kita, jika kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?

Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung“ ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung“, bekerja mati-matian untuk me“realiteit“kan “Weltanschauung“ mereka itu. Oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: “Soviet-Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin cs.“,–John Reed, di dalam bukunya: ten days that shock the world, sepuluh hari yang menggoncangkan dunia—walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam sepuluh hari, tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia “Weltanschauung”-nya, dan di dalam sepuluh hari itu hanya sekadar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas “Weltanschauung” yang sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung” itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu “dicobakan“, di-“generale-repetitie“-kan.

Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri generale repetitie daripada revolusi 1917. Sudah lama sebelum 1917, weltanschauung itu disedia-sediakan, sebagaimana dikatakan John Reed. Hanya dalam sepuluh hari itulah dikatakan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruh kekuasaan di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidaklah pula Hitler demikian?

Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.

Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan punya “Weltanschauung“ itu? Bukan di dalam tahun 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar nazisme ini, “Weltanschauung“ ini, dapat menjelma dengan dia punya “MÏ‹nchener Putsh“, tetapi gagal. Di dalam tahun 1933 barulah saatnya beliau merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar “Weltanschauung“ yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.

Maka demikian pula, jika hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah “Weltanschauung“ kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah Historicsh-Materialisme? Apakah “San Min Chu I“, sebagai dikatakan oleh dokter Sun Yat Sen?

Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi “Weltanschauung“-nya telah siap dalam tahun 1885. Kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku The Three People’s Principles San Min Chu I,–Mintsu, Min Chuan, Min Sheng,–nasionalisme, demokrasi, sosialisme,–telah digambarkan oleh dokter Sun Yet Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas ”Weltanschauung” San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.

Kita hendak mendirikan negara Indoneisa Merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I kah, atau “Weltanschauung“ apakah?

Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga tahun lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan,–macam-macam–, tetapi alangkah benarnya perkataan Dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesomo, bahwa kita harus mencari kesetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschauung“ yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Loem Kiem Hian setujui, pendek kata kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita semua mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan pada suatu golongan kaya, untuk memberikan kekuasaan pada golongan bangsawan?

Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum bangsawan yang ada di sini, maupun saudara-saudara dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya,–tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam siding Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai ini, tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan suatu negara Kebangsaan Indonesia.

Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesomo dan saudara-saudara Islam lain; maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jika saya katakana bahwa dasar pertama buat Indonesia dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes Hadikoesomo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek Tuan pun bangsa Indonesia, datuk-datuk Tuan, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesomo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.

Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?

Menurut Renan syarat bangsa lain “kehendak akan bersatu“. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.

Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble“, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.

Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya Die Natinalitartenfrage, di situ dinyatakan: “Was ist eine Nation?“ dan jawabnya ialah: “Einen Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft.“ Inilah yang menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).

Tetapi kemarin pun tatkala, kalau tidak salah Prof. Soepomo menyitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: ”verouderd”, “sudah tua“. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah ”verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisnya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschaft baru, satu ilmu baru, yang dinamakan geopolitik.

Kemarin, kalau tidak salah, Saudara Ki Bagoes Hadikoesomo, atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang “persatuan antara orang dan tempat“. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dan bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer sekadar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft“-nya dan perasaan orangnya, “I’ame et le desir“. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat., tidak mengingat bumi, bumi yang didiami oleh manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat, yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t. membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun, jika ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa Kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara dua lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatra, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai “golfbreker” atau penghadang gelombang Lautan Pasifik, adalah satu kesatuan.

Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa Kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.

Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Atena saja, bukan Makedonia saja, tetapi Sparta plus Atena plus Makedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap Kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.

Maka, manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatra saja, bukan Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudra, itulah tanah air kita!

Maka jika saya ingat berhubungan antara orang dan tempat antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus Schiksalsmemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa di Indonesia, yang paling ada “desir d’etre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 ½ miliun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan! Penduduk Yogya pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan.

Pendek kata, bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t., tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah jadi “Charaktergemeinschaft!” Natie Indonesia, bangsa Indonesiaumat Indonesia orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!

(Tepuk tangan hebat)

Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatra sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.

Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Saksen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian-bagian kecil, bukan Venezia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh Pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.

Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya dua kali mengalamai nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit. Di luar itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Haryokrokoesomo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Ageng Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoeddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.

Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jika tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatra, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang sama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo, Tuan menjawab, “Saya tidak mau akan kebangsaan.“

Tuan Lim Koen Hian: Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.

Tuan Soekarno:

Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitanisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitanisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya “menschheid“, “perikemanusiaan“. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya—katanya, jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikit pun. Itu terjadi pada tahun ’17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya,–ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh The Three People’s Principles itu. Oleh karena itu, jika seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dnegan perasaan hormat sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen,–sampai masuk ke lubang kubur.

(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)

Saudara-saudara. Tetapi…tetapi…Memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia Ï‹ber alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu,. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!

Gandhi berkata, “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.” “My nationalism is humanity”.

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagaimana dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutschland Ï‹ber alles”, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulya, berambut jagung dan bermata biru, “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedangkan bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.

Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, melainkan kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah philosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada tuan-tuan, yang boleh saya namakan internasionalisme. Tetapi jika saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lain.

Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip I dan prinsip II, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.

Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara, “semua buat semua”, ”satu buat semua”, “semua baut satu”. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.

Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam,–maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna,–tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan di dalam badan perwakilan rakyat.

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jika kita memang rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jika memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jika memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita—pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggota, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jika hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam.

Maka saya berkata, baru jika demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal ini adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada, satu staat yang hidup betul-betul hidup jika di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya ornag Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia adalah Kristen. Itu adil,-fair play! Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahu wa taala memberi pikiran kepada kita, agar dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan!

Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengar prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsip San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau badan perwakilan rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah badan perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?

Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah karena badan-badan perwakilan rakyat yang diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya “Fransche Revolutie“. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie di sana itu hanyalah politieke democratie saja, semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid,–tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali, saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Prancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke demokratie. “Di dalam Parlementaire Democratie,“ kata Jean Jaures “di dalam Parlementaire Demodratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, taip-tiap orang boleh masuk di dalam parlemen. Tetapi adakah “Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?“ oleh karena itu, jean Jaures berkata lagi:

“Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister. Ia seperti raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam pabrik,-sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilemparkan keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa.“
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?

Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, melainkan permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politieke-ekonomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Oleh karena itu, jika kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang akan kita buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.

Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepala negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarki. Apa sebab? Karena monarki  “vooronderstelt erfelijkheid”,–turun-temurun. Saya orang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun amirul mukminin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jika pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesomo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Bagoes Hadikoesomo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Bagoes Hadikoesomo. Oleh karena itu, saya tidak mufakat kepada prinsip monarki itu.

Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan empat prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia:
2. Internasionalisme,-atau perikemanusiaan:
3. Mufakat,-atau demokrasi:
4. Kesejahteraan sosial.

Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing Orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.

(Tepuk tangan sebagian hadirin)

Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati negara-negara lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip ke-5 daripada negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jika saudara-saudara menyetujui bahwa negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!

Di sinilah, dalam pangkuan asas yang ke-5 inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan negara kita akan bertuhan pula!

Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang berkebudayaan!

Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pandawa lima)

Pandawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima pula bilangannya.

Namanya bukan Panca Dharma, tetapi—saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa—namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas, atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuk tangan riuh)

Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan itu? Saya boleh peras hingga tinggal tiga saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan“ yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosionasionalisme.

Demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politieke-ekonomische democratie, yaitu politieke democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie.

Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.

Jadi, yang asalnya lima itu telah menjadi tiga, socio-nationalisme, socio-democratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?

Sebagai tadi saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen bukan Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesomo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia,-semua buat semua! Jika saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!
(Tepuk tangan riuh rendah)

“Gotong royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karya, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karya, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong royong adalah perbantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong!
(Tepuk tangan riuh rendah)

Prinsip gotong royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.

Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila, atau Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia,–di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah subhana wa taala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan.

Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah, saya mengucapkan syukur kepada Allah subhana wa taala.

Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peaturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara-saudara mufakati atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia: untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan: untuk permufakatan: untuk sociale rechvaadigheid untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsaf-insafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan!

Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun yat Sen!

“Der Mersch”–manusia!–, harus perjuangkan itu. Zonder perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu; zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang menjadi realiteit. Jangankan buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Quran, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.

Oleh karena itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jika kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan Ketuhanan yang luas dan sempurna,–janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko,–tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudra yang sedalam-dalamnya. Jika bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak nekad mati-matian untik mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah didapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka,-merdeka atau mati!“
(Tepuk tangan riuh)

Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap “verschrikkelijk zwaarwichtig” itu.

Terima kasih.
(Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin

Demikian adalah pidato yang diberikan Ir Soekarno tentang pancasila. Jadi jika anda ingin memahami konsepsi pancasila yang diperkenalkan oleh soekarno, maka anda bisa menggunakan naskah di atas sebagai sebuah referensi.

Sunday, December 1, 2013

Pengertian, Mekanisme dan Teknik Propaganda

Pengertian, Mekanisme dan Teknik Propaganda

Setiap hari masyarakat menerima informasi dari berbagai saluran media, baik itu milik swasta maupun pemerintah. Informasi yang diterima kadang-kadang tidak diperiksa lagi sehingga langsung diserap sebagai bagian dari kebenaran. Masyarakat kadang-kadang tidak memiliki waktu untuk mencerna kebenaran informasi tersebut sehingga apa yang telah beredar dalam media massa diterima sebagai satu kebenaran.

Namun demikian kalau dilihat secara seksama, mereka yang melepas informasi itu memiliki sejumlah tujuan dan motivasi yang belum diketahui penerima informasi. Jika masyarakat tidak mengetahui fakta sebenarnya tentang informasi itu maka sulit sekali akan mendapatkan gambaran yang utuh. Misalnya, pemerintah sering menyiarkan berita yang bertujuan untuk menutupi kesalahannya dalam kebijakan ekonomi maupun politik. Akibat upaya itu maka masyarakat tidak mengetahui secara menyeluruh apa yang sedang terjadi dalam negaranya. Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 setelah didahului penegasan pemerintah tentang sehatnya fundamental ekonomi telah membawa bencana nasional. Berbagai kalangan saat itu meminta pemerintah menjelaskan tentang fundamental ekonomi yang riil. Permintaan itu tidak ditanggapi serius tetapi dibalas dengan berbagai informasi yang membenarkan sikap pemerintah bahwa krisis ekonomi Thailand takkan menular ke Indonesia.

Artikel ini akan mengulas salah satu istilah penting dalam dunia lalu lintas informasi yakni propaganda. Pertama-tama akan disentuh tentang definisi dalam arti longgar apa yang disebut propaganda. Kedua, bagaimana cara bekerja atau mekanisme sebuah propaganda dalam makan antar negara. Ketiga, bagaimana pula teknik-teknik atau bahasa yang digunakan dalam propaganda.

Pengertian Propaganda

Propaganda, tulis Bruce L Smith dalam Encyclopaedia Social Science sebagai "manipulasi relatif secara sengaja dengan menggunakan simbol (kata-kata, sikap, bendera, citra, monumen atau musik) terhadap pikiran atau tindakan orang lain dengan sasaran terhadap kepercayaan, nilai dan perilakunya. Unsur kesengajaan dan manipulasi membedakan propaganda dari komunikasi biasa atau pertukaran ide secara bebas. Ini juga membedakan aliran informasi melalui pendidikan. Propagandis menyajikan argumentasi yang sudah diatur atau satu set simbol tunggal, sedangkan pendidik memberikan "semua" sisi dari sebuah isu dan
membiarkan pendengarnya memutuskan tentang kebenara atas apa yang dipresentasikan .

Propaganda seperti ditulis pula oleh Encyclopedia Britanica (1997) dalam pengertian modern muncul Conggregatio de Propaganda Fide (Perkumpulan untuk Mengajak kepada Keimanan), komite tetap kardinal yang bertanggung jawab atas aktivitas misionairs Katolik Roma sejak 1622.

Komunis memberikan pengertian lain tentang propaganda ini. Dalam koleksi tulisan Lenin yang terbit tahun 1929 berjudul Agitation und Propaganda. Dalam buku yang ditujukan untuk basis argumentasi dan praktek komunis atas hal itu, Lenin membedakan antara (1) propaganda yang didefinisikan sebagai argumentasi akal
pikiran dari filsafat, sejarah dan ilmu pengetahuan untuk mempengaruhi orang terdidik dan yang cukup cerdas dan (2) agitasi yang diartikan penggunaan slogan-slogan emosional, setengah kebenaran, ungkapan-ungkapan untuk mempengaruhi orang yang tidak terdidik, setengah terdidik dan kuran cerdas.

Mekanisme Propaganda

Propaganda itu adalah suatu tindakan yang sulit diraba. Untuk melihat mekanisme propaganda dalam tingkat negara (state) KJ Holsti dalam International Politics: A Framework for Analysis (1992) menguraikan dua model dari sebuah propaganda. 

Sebuah negara dalam interaksi dengan negara lain melancarkan propaganda. Untuk mempengarui negara lain, sebuah negara melalukan propaganda melalui kelopok-kelompok sosial atau organisasi di negara yang jadi sasaran. Dengan propaganda itu maka kelompok masyarakat dapat mendesak kepada pemerintahnya
untuk mengubah kebijakan yang dikehendaki oleh negara yang melakukan propaganda. Mekanisme ini memperlihatkan sebuah proses propaganda secara tidak langsung dimana sebuah tim propaganda negara tertentu membidik sasaran kelompok atau organisasi masyarakat untuk menjadi medium bagi tujuan propagandanya. Hal ini dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut

Proses propaganda antar negara itu mengandaikan tidak adanya tindakan dari negara B terhadap propaganda yang dilakukan negara B. Dalam prakteknya negara atau masyarakat B akan melakukan tindakan sebaliknya terhadap negara A. Atau mungkin pula masyarakat A melakukan propanda langsung terhadap negara B. Holsti melukiskan proses propaganda model kedua ini sebagai berikut:

Dalam model kedua itu diandaikan bahwa berbagai kelompok sosial negara A ingin mempengaruhi negara B melalui kelompok dan organisasi di negara B. Diharapkan dengan mempengaruhi berbagai kelompok B itu dapat mendorong pemerintah B mengubah kebijakannya terhadap negara A. Jika pemerintah B mendorong perubahan di negara A maka negara dan pemerintah A diharapkan pula akan menguah kebijakannya terhadap berbagai kelompok dan organisasi di negara sendiri.

Bahkan dalam kasus tertentu kelompok di negara A langsung melakukan propaganda kepada negara dan pemerintah B untuk mengajak agar kebijakan kepada negara A berubah. Hal yang sama dilakukan kelompok organisasi negara B ikut mendorong proses propaganda kepada negara A. 

Model kedua ini berangkat dari kasus di Afrika Selatan dimana kelompokkelompok etnik berkulit hitam mendorong kelompok negara B memihaknya untuk menekan pemerintah B menekan negara A yang menganut apartheid. Bahkan kelompok kulit hitam langsung melakukan propaganda kepada negara B seperti juga dilakukan kelompok sosial yang dipengaruhi kelompok negara A ikut mendorong langsung negara dan pemerintah A.

Teknik-teknik Propaganda

Untuk melakukan proses itu, sejumlah teknik propaganda dikerahkan agar tepat sasaran. Holsti mencatat sejumlah teknik untuk menyampaikan pesan.

1. Name-Calling.

Propagandis menyentuh simbol-simbol emosional kepada seseorang atau sebuah negara. Targetnya diharapkan merespon sesuai yang dikehendaki propagandis tanpa perlu memeriksa lagi atau mencari bukti-bukti. Dengan demikian propagandis melancarkan semacam stereotipe kepada sasarannya.Dalam hal ini muncul istilah komunis menjadi "merah", pemimpin buruh menjadi "bos serikat buruh" dan pemeritah konstitusional menjadi klik pemerintah.

2. Glittering Generality

Ini mirip dengan teknik nomor pertama namun digunakan untuk melukiskan sebuah gagasan atau kebijakan bukannya individu. Istilah "dunia bebas" (free world) adalah generalitas favorit propagandis Barat. Sedangkan "solidaritas sosialis" dipakai dunia komunis untuk menggambarkan hubungan kompleks diantara negara dan partai komunis. Sementara itu "jiwa Afrika" (the African soul) diharapkan mencipta citra kekuatan dan persatuan.

3. Transfer

Porpagandis berusaha mengidentifikasikan sebuah gagasan, pribadi, negara atau kebijakan dengan hal lain untuk membuat sasaran propaganda setuju atau tidak setuju. Salah satu caranya adalah membangkitkan kebencian sikap rakyat beragama terhadap komunis yang menyamakan dengan ateisme. Komunis biasanya menyamakan kapitalis dengan dekadensi (kemerosotan) dan anti semit dengan harapan menciptakan dukungan publik karena menyamakan yahudi dengan komunis.

4. Plain Folks

Propagandis sadar bahwa masalah mereka terhambat jika mereka tampak di mata audiensnya sebagai "orang asing". Oleh sebab itu mereka berusaha mengidentifikasikan sedekat mungkin dengan nilai dan gaya hidup sasaran propaganda dengan menggunakan slang, aksen dan idiom lokal.

5. Testimonial

Di sini propagandis menggunakan pribadi atau lembaga yang dapat dipercaya untuk mendukung atau mengkritik sebuah gagasan atau kesatuan politik. Variasi dari propaganda ini adalah "mengkaitkan dengan yang memiliki wibawa/kekuasaan" dimana sasaran propaganda akan mempercayai sesuatu karena sesuatu yang memiliki "otoritas" mengatakan hal itu.

6. Selection

Hampir semua propagandis bahkan ketika menggunakan teknik lain seperti diulas sebelumnya tergantung pada seleksi fakta, meskipun jarang sangat spesifik dalam isi faktanya. Ketika presentasi rinci diberikan, propagandis menggunakan hanya fakta-fakta yang tersedia untuk "membuktikan" sasaran yang telah ditentukannya.

7. Bandwagon

Teknik ini memainkan perasaan audiens untuk sesuai dengan massa.Teknik ini mirip testimonial namun massalah yang jadi cara untuk menarik perhatian. Misalnya propagandis komunis sering menggunakan ungkapakn "seluruh dunia tahu bahwa …." Atau "semua rakyat yang cinta damai mengakui bahwa ……"
Atau "semua masyarakat progresif menuntut bahwa ……" . Teknik ini menempatkan sasaran sebagai minoritas sehingga bila mereka menolak harus bergabung dengan mayoritas. Atau jika sasarannya simpati maka aka menguatkan sikap mereka dengan mendemontrasikan bahwa mereka sudah ada di pihak yang
"benar" beserta orang lainnya.

8. Frustration Scapegoat

Salah satu cara mudah untuk menciptakan kebencian atau menyalurkan frustrasi adalah menciptakan kambing hitam. Rejim-rejim revolusioner yang berhadapan dengan ketidapastian ekonomi dan sosial internal serta frustrasi rakyat sering menciptakan "hantu" internal atau eksternal untuk menyalurkan penderitaan
rakyat. Salah satu contoh populer adalah mitos yang diciptakan Hitler bahwa masalah dalam negeri dan luar negeri Jerman disebabkan yahudi yang disamakan

9. Fear

Kesadaran dapat bangkit dan sikap berubah manakala audiens dibuat sadar akan hambatan atau ancaman terdekat terhadap hidup dan kesejahteraan mereka. Pada masa krisis internasional, pemerintah aktiv dalam memobilisasi rakyatnya mengekspresikan solidaritas ketika mereka berhadapan dengan musuhnya.
Ancaman nuklir digunakan untuk mendorong pengawasan dan perlucutan persenjataan. Sedangkan kekhawatiran kerusakan ekologi membangkitkan kesadaran akan isu-isu lingkungan.

Secara singkat dapat diketahui bahwa propaganda merupakan sebuah tindakan manipulatif untuk mempengaruhi keputusan atau perilaku individu atau negara lain. Dalam percaturan internasional mekanisme propaganda berlangsung dalam sebuah proses yang kompleks. Berkembangnya teknologi informasi menyebabkan propaganda semakin sering terjadi dengan berbagai saluran. Demikian pula teknik-teknik propaganda dikembangkan lagi dari dasar-dasar yang sudah biasa dilakukan oleh kaum propagandis.

Daftar Pustaka

Encyclopedia Britanica, versi CD tahun 1997
Holsti, KJ, International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey, Prentice
Hall, 1992.
Couloumbis, Theodore and James H Wolfe. Introduction to International Relations:
Power and Justice. New Jersey, Prentice Hall, 1978.
Susanto. Astrid Dr, Pendapat Umum. Bandung, Binacipta, 1975.

Friday, November 29, 2013

Kumpulan Kata Kata Mutiara Bijak Soe Hok Gie

Kata kata mutiara bijak Soe Hok Gie

Kumpulan Kata-Kata Mutiara Dari Soe Hok Gie - Soe Hok Gie adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra UI Jurusan Sejarah tahun 1962–1969. Gie lahir di Djakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun.

Soe Hok-Gie memang dikenal sebagai seorang aktivis dan penggiat olahraga alam, seperti mendaki gunung. Tapi, dibalik itu pria keturunan Tionghoa ini juga terkenal dengan kata-kata bijak dan puisi yang sangat dalam. 

Berikut ini adalah kumpulan kata-kata bijak yang pernah ditulis oleh Soe Hok Gie.

"Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran."

"Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah."

"Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau."

"Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."

"Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan."

"Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia."

"Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun."

"Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi."

"Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?"

"Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis"

"Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah."

"Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita."
"Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia."

"To be a human is to be destroyed."

“Nobody can see the trouble I see, nobody knows my sorrow.”

"Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin."

"Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan."

"Im not an idealist anymore, Im a bitter realist."

"Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata."

"Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan."

"Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya."

"Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik."

“Tapi sekarang aku berpikir sampai di mana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah, ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa"

"Makhluk kecil kembalilah. Dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu."

"Dunia ini adalah dunia yang aneh. Dunia yang hijau tapi lucu. Dunia yang kotor tapi indah. Mungkin karena itulah saya telah jatuh cinta dengan kehidupan. Dan saya akan mengisinya, membuat mimpi-mimpi yang indah dan membius diri saya dalam segala-galanya. Semua dengan kesadaran. Setelah itu hati rasanya menjadi lega"

Sebagai tambahan saja, bahwa Soe Hok Gie merupakan salah satu contoh mahasiswa yang mempunyai idealisme tinggi. Dan semoga saja kata-kata mutiara yang pernah di tulis oleh soe hok gie bisa menginspirasi anda, khususnya jika anda adalah seorang mahasiswa. Karena idealisme sangatlah diperlukan mahasiswa.